Danau Tondano indah yang hampir punah. Datang ke sana sekedar menonton ombak menghanyutkan eceng gondok beradu bebatuan di tepi. Menyisa kabut yang menggantung di atas pegunungan Lembean menghentar sore mendung di penghujung Mei 2008. Daerah Aliran Sungai Tondano adalah bagian dari muka bumi dengan variasi kontur, gunung, bukit, dataran, dan lembah; Menjulur dari kawasan Kawatak-Manimporok di kaki gunung Soputan sampai ke teluk Manado. Suatu paduan pemandangan mengukir keunikan tersendiri di pulau Sulawesi. Namun sayangnya oleh perjalanan waktu dan kelalian manusia semua nyaris terlupakan, kini area itu menjadi kritis. Dayad ukung sumber-sumber kehidupan bagi penghidupan di wilayah itu sudah sangat memprihatinkan. Rindu menghentar saya ke sana. Ingat syair yang mendayu tentang pesona danau itu, atau lirik yang tak lagi disapakan angin. “Manesel wo kumura pe adu sayang, tare manesel, adu sayang, mina jadi mo. Maka gena-genang tuminggal si mama sayang, maka gena-genang tuminggal si papa.” Penggalan lagu daerah Minahasa yang saya sendiri tak tahu siapa yang menciptakannya, tapi sering saya dengar di masa kecil dulu.Selintas mudah dimengerti. Kata wanua atau kampung. Bagi banyak orang, wanua adalah kata penunjuk tempat. Wanua menjadi benda yang berkaitan dengan siapa berasal dari mana, bagaimana rupa tanahnya, hawanya, rumahnya, ladangnya, kawan lama dan sanak keluarga, bagaimana perilaku mereka terhadap tempat yang disebut wanua itu. Tempat kelahiran, lebih mendekatkan pada arti sebuah kejadian di mana lokasi itu menjadi subyek emosionil dan membangkitkan banyak cerita maupun perasaan. Rona dan rasanya begitu dekat dengan jiwa, hingga kita enggan beranjak dari lamun ketika jauh di rantau apalagi mengenang susah. Atau bagi mereka yang berada di wanua, rasa ‘turut menjadi pemilik dan pelaku aktifitas’ sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri.Saya coba bicara tentang Sumaru Endo. Suatu tempat yang berada di sisi danau Tondano. Tepatnya di timur wanua Remboken, kabupaten Minahasa. Lokasi ini berada sekitar tiga puluh delapan kilometer dari Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara, dengan ketinggian 687 meter dari permukaan laut. Sumaru Endo diambil dari bahasa lokal etnis Toulour yang berarti menghadap matahari. Menurut cerita orang-orang tua dulu, lokasi ini ditumbuhi banyak pohon rumbia. Kisah tutur yang melegenda selintas menggambarkan lokasi ini. Dentang lonceng satu-satu dari gereja Protestan di wanua Paslaten, pada awal minggu, menandakan pukul 6 pagi. Seperti sudah terbiasa, lonceng peninggalan Belanda ini menjadi ‘pertanda waktu’ bagi orang-orang di sana. Nelayan dan siapa pun yang berada jauh di tengah maupun di seberang danau dapat mendengar dentangnya. Bagi mereka yang mau ke gereja pasti bergegas menuju penambatan perahu di Sumaru Endo dan sekitarnya. Di zaman pendudukan Jepang, di Sumaru Endo ada pos tentara Jepang. Kehadiran tentara Jepang di sana membawa aturan ketat bagi nelayan danau. Menurut cerita, seorang bangsa Jepang yakni Hirohito, memberi nama Payangka kepada ikan yang oleh penduduk lokal disebut Wurukus. Namun jauh sebelum itu, nelayan danau juga telah memberlakukan aturan adat tentang konservasi di danau. Di sana ada mitos “minta izin” sebelum turun danau, atau dilarang mendekati satu lokasi di danau yang ada ‘panjaganya’, sehingga nelayan menghindari daerah tersebut karena memang di situ merupakan tempat berkembangbiaknya ikan. Sumaru endo sejak zaman dulu adalah tempat para nelayan danau menambatkan perahu dan beristirahat. Ombak memecah berdebur menimbulkan suara seperti dengkuran babi menghantam tepian berbatu dan goa alam yang ada di Sumaru Endo. Debur yang berbunyi “mbok” itulah yang menjadi latar penamaan Remboken. Tourinembok! Rinembok dan ken. Menurut Mr Robby Engka, seorang guru di wanua Remboken, yang mana kata “Ken” itu diambil dari aksen bahasa Belanda. Tersambunglah rinembok dan ken, jadi Remboken.Bagi pelancong, tempat yang baru membawa pengalaman baru dan situasi yang baru. Sumaru Endo adalah salah satu alternatif. Demikian, bila kita punya kesempatan datang ke sana. Psikis disegarkan dari penyakit rutinitas dan kestatisan. Memang, di banyak tempat di negara-negara tropis, kondisi alam seperti ini gampang dijumpai. Matahari bersinar sepanjang musim dengan keindahan alam yang khas di wilayahnya masing-masing. Ketika saya mampir ke Sumaru Endo Mei 2008 ini, ada cerita banjir yang menjangkit hingga ke hulu. Pendangkalan danau terjadi semakin parah akibat penebangan hutan di area tangkapan air, mulai dari hulu, pesisir hingga hulu Daerah Aliran Sungai Tondano. Sesungguhnya ini bukan cerita baru. Berdasarkan data, per tahun berton-ton larutan yang semata tak terurai dalam sekejap, dari pupuk kimia dan pestisida mengalir masuk dari sungai-sungai yang bermuara di danau. Belum lagi konsep budidaya di area danau yang tak memperhitungkan kemungkinan pendangkalan terjadi semakin cepat dari pemberian pakan yang kadang tanpa konsep yang tepat. Semua menyatu di dasar yang tak lagi kasat mata. Berikutnya, soal eceng gondok yang kian mengkhawatirkan.Ada yang tersisa dari keunikan danau Tondano terlebih Sumaru Endo. Hawa sejuk, apalagi ketika malam turun. Kerlip lampu di kejauhan memantul laksana cahaya emas di air danau. Rinai gerimis menghentar waktu dalam rindu. Ketika berkeliling saya masih melihat perahu-perahu melintas membelah permukaan danau, kabut, warna senja yang makin tua, riak air beradu batu, para pencari wi’iwir, dan wisatawan yang mondar-mandir di Sumaru Endo. Wi’iwir adalah sebangsa ikan kecil endemik di danau Tondano. Kutatap sekali lagi, sekedar membalut rindu. Jangan sampai keindahan itu punah.
0 komentar:
Posting Komentar